Rabu, 21 September 2011

Sairen Chapter 2 : Run Away....

Matanya menatap keatas langit yang gelap dan hampa..

Sairen.... 
Bayangan Cinta Dibalik Cahaya Kematian...
Hari dimalam kelam, dan sial ini dihembus angin kencang yang dingin, semua daun gugur berhamburan. Dinginnya malam ini menerpa pori-pori kulit Ny. Lilian, dan para pelayan. Suasana mati ini sungguh menyesakkan. Tetes demi tetes air datang dari pintu langit, suara gemuruh sang petir menambah debaran yang sudah dirasakan menyakitkan.
“ Cuaca ini tidak bersama mendukung kita, Nyonya harus kembali kerumah, sebelum air langit membuat anda sakit… .” Nona Amelda menyentuh pundak Ny. Lilian yang kaku. Hujan kini semakin deras. Rumput taman sudah basah, tanah menjadi lunak, dengan hawa dingin menusuk tulang.
Seseorang berlari-lari terburu-buru. Datang kepada Ny. Lilian. Dia adalah seorang pelayan laki-laki. Pelayan itu membisikkan sesuatu pada telinga kiri Ny. Lilian.
“ Ny. Lilian, John… .”
Entah apa yang terucap dalam bisikan itu, yang jelas raut itu merubah raut wajah Ny. Lilian yang mulai basah oleh air hujan.
“Grace putriku, aku tak percaya ini!!!”. Sepatu Ny. lilian melangkah maju. Semakin maju, hingga Ny. Lilian sudah berada diluar rumahnya, melewati pagar yang berbaring itu. Para pelayan hanya menyaksikan dengan mata mati, mereka tak bisa berbuat sesuatu. Hati mereka terdiam.
“ Grace putriku, permataku yang hilang, berlarilah selagi kau mampu, entah kau manusia, iblis, ataupun hantu, tetaplah hidup dalam kematian, kebencian, dan rasa bersalah, kau sungguh telah mengingkari janjimu padaku, kau tidak lagi bagian dari jiwaku, karena sejak ini hatiku mati untukmu!!!”. Suara Ny. Lilian itu memecah gemuruhnya hujan dimalam ini. Dia menangis, juga meratap. Kejadian hari ini menghancur leburkan hatinya. Bisikan itu ternyata pemberitahuan yang mengerikan.
Petir biru menyala seperti lampu dilangit hitam itu. Indah tapi mengerikan. Mata Ny. Lilian menatap keatas bersama wajahnya yang pucat. Petir biru di langit itu bagaikan melukiskan Grace, baginya. Putri cantiknya yang membunuh John.
4 Jam Kemudian…
Hujan makin merendah. Grace berjalan terkatung-katung tanpa arah. Setelah disadari Grace sedang berada ditaman kota yang cukup jauh dari rumahnya. Dengan keadaannya yang mengerikan. Penuh darah, dan lumpur,. Telapak kakinya juka terluka karena berlari jauh tanpa sepatu yang melekat. Ditaman itu terdapat satu pohon yang cukup tua, dan besar. Grace berpikir untuk mendiamkan dirinya sebentar dibawah pohon itu.
            “ Tidak seorang pun dirumah akan percaya untukku, aku tak membunuh John, hantu putih itu yang datang padaku, dan John, lalu melukai kami, tapi John berkata lain, hatiku benar-benar sakit, malam ini indah, tapi juga sangat menyakitkan… .”
Grace menangis, hatinya sudah hancur lebur, keputus asaan memang sudah berada didekatnya. Mata birunya terasa pedih. Tubuhnya memang bukan terasa letih, dan sakit karena luka, tapi sakit karena hatinya yang tersayat perih. Grace tersadar ketika memegang lehernya, kalung rubi merah yang diberikan John masih melekat menghiasi dirinya.
“ Kalung dari John, serta ciuman saat itu kini tinggal sebuah kabut mimpi indah… .”
Grace ingin melepas kalung rubi John, kedua tangan Grace mencari-cari pengait yang dapat melepas pergi kalung itu dari lehernya. Namun, pengait kalung itu tak sanggup ditemukan.
“ Mungkin aku tak mampu merasakan kait kalung ini, atau Karena lampu taman remang-remang yang tak terlalu berguna menghapus kegelapan, sehingga sepasang mataku tak mampu melihatnya.”
Grace mempunyai pikiran lain, Tangan Grace berusaha menarik putus kalung rubi itu, untuk dibuang jauh dari hadapnya, tapi aneh kalung itu tak mau terputus, bahkan ketika semakin ditarik, batu rubi merah kalung itu bersinar-sinar. Malam itu sangat gelap, sinar batu rubi itu seperti sebuah lampu merah yang melenyapkan gelap. Mengalahkan kilau lampu taman  yang remang-remang.
“ Benar-benar kalung yang tidak biasa... .” Pikir Grace dalam benaknya. Dari kejauhan seorang lelaki setengah baya melihat cahaya merah berkedap-kedip indah. Dirinya merasa penasaran, dan mendatangi cahaya merah itu. Langkahnya pasti, semakin mendekat dirinya, cahayanya semakin bersinar. Dan sungguh tertegunnya dirinya menemukan cahaya itu berasal dari sebuah kalung indah  yang dikenakan seorang gadis lusuh, dan kotor.
“ Apa yang terjadi denganmu, nona???.” Grace begitu takut saat dihampiri, ia merangkak mundur menjauh. Tangannya mencengkram tanah lumpur ditaman untuk membawanya lari.
“ Pergilah, jangan dekati diriku.” Grace mengusir lelaki tua itu. Nada bicaranya rendah, suaranya terdengar serak, wajah cantiknya pun kini beraut takut.
Lelaki tua itu merasa ada kesalahan pada Grace. Hatinya bicara untuk memberi bantuan, setidaknya membawa Grace kerumahnya, untuk menetap sebentar bersama istri, dan dua putri kecilnya yang tersayang.
“ Hai nona, aku hanya ingin membantumu yang sedang susah, aku seorang penulis bernama Joseph, jika kau mau menginaplah bersama istriku Evelyn, berada diluar sana sangat buruk, dan bahaya untukmu… .” Tangan tua tuan Joseph yang kasar mendekat pada Grace.
Grace tau dia bahwa suatu kemunafikan jika dia tidak butuh bantuan. Grace menyambut uluran tangan tuan Joseph, tangan kurus, dan kasar tuan Joseph terasa hangat untuk Grace.

Tuan Joseph mengantar Grace, pada rumah kecilnya yang sederhana tapi terlihat indah. Setelah beberapa detik Tuan Joseph mengetuk pintu kayu rumahnya, pintu itu pun bergeser, tampaklah wajah seorang wanita tua, berambut coklat, berdiri dipintu itu menyambut kehadiran Tuan Joseph.
“ Evelyn sayang, gadis ini bernama Grace, dia membutuhkan bantuan kita, aku menemukannya ditaman kota yang gelap, sepertinya sesuatu yang amat buruk baru saja menghampirinya “. Ucap Tuan Joseph.
Ny. Evelyn tertegun sejenak melihat pemandangan yang ada didepan matanya, yaitu seorang gadis muda dengan gaun rusak, yang penuh lumpur, dan noda-noda darah. Tapi ada sesuatu yang membuat sepasang mata tuanya tak berhenti menatap pada Grace.
“ Kalung rubi merah??? Melingkar dileher gadis lusuh seperti ini ?…”. Pikir Ny. Evelyn dalam relung hatinya.
“Masuklah gadis muda, aku akan menyiapkan air hangat, dan pakaian untukmu…”. Ny. Evelyn menarik Grace masuk, dan segera mengunci pintu rumahnya.
“Mama, mama, siapa dia???”. Seorang gadis mungil berambut panjang menghampiri Ny. Evelyn. Telunjuknya menukik tajam kearah Grace.
“ Alea! kembalilah kekamarmu, berbaringlah sana bersama kakakmu Lolla!”. Perintah tegas keluar dari bibir Ny. Evelyn.
“ Baiklah Mama, tapi bolehkah esok pagi aku bermain dengannya???”. Alea memanja, dia menarik-narik kain baju Ny. Evelyn.
“ Oke kau boleh bermain dengannya esok pagi, tapi saat ini kau harus tidur Alea!!! Ayo pergi, pergi kekamarmu cepat!!”. Ny. Evelyn mendorong Alea untuk memaksa dia berlari kekamarnya. Alea pun berlari-lari dengan kaki mungilnya menuju kekamar peristirahatannya.
“ Jangan lari-lari Alea!!! Aneh anak itu malah mau bermain dengan gadis lumpur yang baru dilihatnya pertama kali”. Ny. Evelyn tertawa kecil, Grace pun tersenyum mendengar ucapan Ny. Evelyn itu.
            “ Mari duduklah disini, aku akan menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuhmu Grace ”. Ny. Evelyn meninggalkan Grace di ruang tamu. Mata Grace melirik seisi rumah kecil Tuan Joseph dan Ny. Evelyn. Rumah kecil ini terasa lebih hangat saat ini untuk Grace, kesialan yang menderanya sehari penuh ini, kini telah sedikit terobatkan oleh kebaikan dari Tuan Joesph dan Ny. Evelyn.
            “ Grace ayo ikut aku!”. Grace membuntuti langkah Ny. Evelyn hingga kini dirinya berada di sebuah kamar mandi.

Esok Pagi…
“ Ah apel yang bagus Ny. Tessa, aku ingin membelinya beberapa buah!”. Ramainya pasar kota membuat Ny. Evelyn harus melantangkan suaranya.
“ Tentu saja, apel ranum ini baru dipetik dari kebun tadi pagi! “. Ny. Tessa membanggakan apel dagangannya.
Ny. Evelyn mengelilingi pasar dengan keranjang kecilnya yang berisi beberapa apel, dan bayam. Dari kejauhan terdengar seseorang yang berkoar-berkoar ditengah pasar itu, dengan beberapa lembar kertas yang menggantung ditangannya.
Seseorang menepuk pundak Ny. Evelyn.
“ Hi Nyonya apa anda pernah melihat gadis ini….? “.
“ Ny. Evelyn mari kubantu!”. Kedua tangan Grace mengangkat keranjang  yang telah awal dipegang Ny. Evelyn untuk membeli kebutuhan hidupnya.
Kaki-kaki mungil Lolla dan Alea membawa mereka berlari mendekati Ny. Evelyn. Sebuah pelukan hangat untuk sambutan sederhana atas kepulangan Ny. Evelyn.
“ Mama, sudah pulang…”. Alea, dan Lolla tertawa bahagia. Pipi mereka merona seperti sebuah apel merah.
“ Lolla, Alea bermainlah sepuasnya disini, makan siang yang lezat akan mama siapkan “. Ukiran senyum kecil terlihat jelas di wajah Ny. Evelyn. Sorotan silau matahari terasa tajam menusuk mata, membuat semuanya kemilauan disiang terik itu.
“ Grace, kau mau membantuku menyiapkan makan siang?”.
“ Tentu saja Ny., saya sangat senang memasak”.
            Permintaan dari Ny. Evelyn ditanggapi dengan wajah senang, dan semangat dari Grace. Bantuan yang dipinta dari Ny. Evelyn sangat dibutuhkan oleh Grace. Karena tanpa permintaan tolong, kita tak dianggap mampu, dan dapat dihargai keberadaannya bukan?!.
            “ Suamiku, beserta Lolla, dan Alea sangat menyukai Pie Apel”. Ungkap Ny. Evelyn.
            “ Ya, Pie Apel sangat enak, jadi ingat ketika ibuku menyiapkannya untukku, rasanya seperti sebuah curahan kasih sayang “. Grace tersenyum mengingat memori indahnya. Tangan Ny. Evelyn berhenti mengiris apel-apel manis itu. Mata tuanya menatap tajam Grace.
            “ Grace, apa kau bisa menjelaskan padaku apa maksudnya ini ?”....

Bersambung...